Rabu, 30 Maret 2011

SEKILAS KOSMOLOGI

SEKILAS KOSMOLOGI

Widya Sawitar
Planetarium Jakarta


Pada era yang kita katakan modern saat ini, pada satu batas cakrawala tertentu,
harus diakui sudah banyak ragam benda langit dikenal di segenap pelosok alam raya. Namun, jagad raya yang hanya dua kata ini ternyata mengandung bukan sekedar ujud fisik semata. Unsur keindahan - harmoni yang dikandung pada ujudnya begitu terasa.
Ragam bentuk dan warna menyiratkan nuansa seni tiada banding. Belum lagi bila menyimak aneka aspek lainnya. Tulisan singkat ini sekedar memperkenalkan beberapa aspek dari teori mengenai awal ke-terjadi-an alam semesta.


Era Sebelum Masehi
Sejak ribuan tahun lalu seiring sejalan dengan jejak langkah peradaban manusia, sudah lahir banyak kisah seputar jagad semesta dengan segala isi dan fenomenanya. Perlahan muncul mitos kelahirannya. Mulai dari budaya lisan turun temurun, generasi demi generasi sampai saatnya era sekarang.
Tidak bisa disangkal, tahap mitos sebagai cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan yang saat ini kita katakan serba canggih. Bagaimanapun tahap mitos tidak lain adalah usaha manusia untuk menjelaskan gejala alam disekitarnya. Bagaimana hubungan manusia, dirinya, dengan langit yang dilihat? Apa hubungan Matahari – Bumi tempat berpijaknya – Bulan? Planet pun sudah diketahui, semisal bangsa Mesir sekitar 2600 SM menamakan Doshiri sebagai Sekded-ef em khetkhet (Yang bergerak mundur) dimana Doshiri ini yang kini kita sebut planet Mars.
Gagasan kosmogoni berbaur teogoni, terpusat pada tingkah manusia. Keseharian berbalut daya khayal bahkan sampai ke tahap imajinasi yang bersifat teofanik. Bagaimana proses penciptaan ragam benda ditinjau dari bagaimana dirinya mencipta sesuatu (menulis/ mengukir/memahat, dsb.). Atau mirip proses perkembangbiakannya ataupun reproduksi makhluk disekitarnya (berpasangan, bertelur, dsb.).
Tinjau bangsa Mesopotamia pada karya tulisnya Enuma Elish (Tinggi di Atas) 4500 SM, alam semesta lahir dari kegalauan (chaos) sebagai perwujudan dewi Laut (Tiamat) yang melahirkan dewa Langit (Anu) dan dewi Bumi (En-ki atau Ea). Dalam kisah paralel, yang disebut bukan dewi Tiamat, namun dewa Marduk. Pada bangsa Mesir selang milenia berikut muncul kisah, dewa Ptah sebagai pencipta alam raya di mana alam semesta disangga oleh 2 pilar, yaitu Shu (air) dan Tefnut (uap/udara/atmosfer) yang melahirkan Nut (dewa Bumi) dan Geb/Keb (dewa langit). Nut dan Geb pun akhirnya menjadi tiang ke 3 dan 4. Sementara dari India pada era yang sama dengan Mesir muncul legenda dewa Api (Agni?) sebagai cikal bakal jagad raya. Bumi datar disangga oleh 3 gajah yang berdiri di atas punggung kura-kura. Sang kura-kura berenang di samudra nan luas dan keseluruhan jagad dikungkungi seekor ular besar dimana bintang-bintang adalah hiasan pada kulit/sisiknya. Bagi mereka, alam semesta satu saat akan musnah, namun akan tercipta lagi dengan jagad raya yang baru (reinkarnasi/osilasi/Big Bang-Big Crunch?). Sementara jauh di China, bersamaan muncul mitos P’an Ku. Berawal dari adanya telur kosmik. Didalamnya yang ada kegalauan, di sana bertahta P’an Ku, janin jagad semesta. Lalu menetaslah dia dengan membawa palu dan pahat membentuk apa yang ada. Bandingkan bangsa Hebrew yang dalam konsep penciptaannya ini mengenal istilah bara yang dalam Kitab Kejadian secara harfiah adalah memotong – mengukir. Atau kosmogoni Orphic, adanya Primordial World Egg dalam era Yunani berlanjut ke Romawi.

Era Ke-kini-an
Peradaban terus berkembang, dan seiring sejalan pun di dunia astronomi yang mempelajari alam semesta dengan segala isi dan fenomenanya. Begitu banyak tokoh yang dapat dikatakan populer. Sebut sejak era Yunani-Romawi semisal Thales (635-546 SM) dengan elemen dasar-nya, Anaximander (611-574 SM) dengan silinder Bumi-nya, Pythagoras (582-507 SM) dengan Bumi bulat dan perumusan matematis-nya, Anaxagoras (499-428 SM) dengan membantah Bulan bercahaya sendiri dan konsep penciptaan alam semesta yang melahirkan ke-dinamis-an di alam semesta, Aristotle (384-322 SM) dengan ether-nya juga konsep prime mover serta meniadakan segala sesuatu di luar jagad raya.
Sebut melewati era kejayaan di Timur Tengah, semisal penemuan teleskop abad 9 oleh Ibn Haytam (atau Abu Ali ibn Haytam/Abul Hasan/Alhazen) yang dibawa Vitello tahun 1270 ke Itali dan ditelaah Descartes dan akhirnya Galileo tahun 1609. Cassini dan Gilbert dengan teori gaya tarik menarik atau gravitasinya yang disempurnakan oleh Newton, kemudian digunakan oleh semisal Edmund Halley, Herschel, LeVerrier, Adams, Kant, Laplace, Moulton, Chamberlain, Kapteyn, dan banyak lagi yang menggiring kita pada pemahaman bagaimana struktur jagad raya tempat kita berada.
Pada era kemudian, dapat kita coba sebutkan sejak diketahuinya sifat dari satu jenis bintang yang dikelompokkan sebagai bintang variabel Cepheid oleh Leavitt tahun 1912. Pemahamannya menyadarkan kita bahwa galaksi kita tidak sendirian. Hal ini terasa ketika Shapley mencoba “melihat” galaksi tempat kita tinggal. Sampai pada era pemahaman bahwa baik galaksi kita maupun Andromeda ternyata dapat dimasukkan pada satu keluarga galaksi yang disebut Gugus Lokal (Local Group) yang mengandung sekitar 20 galaksi dan berada dalam orde jarak 1 megaparsec ( 1 parsec = 1 pc = 3,26 tahun cahaya).
Penelitian menunjukkan bahwa antara satu gugus dengan gugus lain juga membentuk grup yang lebih besar, yang biasa disebut super-gugus atau super cluster. Yang lebih luas lagi disebut super-supercluster, dst. Dari sini dikenal adanya klasifikasi Hubble.

Dinamika Galaksi
Secara garis besar bahwa bentuk galaksi yang telah diketahui ada 4 macam, yaitu eliptik, lenticular, spiral, dan yang tidak beraturan. Penelitian terhadap galaksi di luar galaksi kita secara sistematis diawali Vesto Slipher (1912) yang mengamati 4 nebula. Tiga buah menjauh diketahui dari efek Doppler yang teramati dari spektrumnya. Satu lagi yaitu Andromeda mendekati kita. Diperluas sampai 12 nebula hasilnya sama. Semua menjauh, kecuali Andromeda. Hal inilah yang akhirnya diteliti Hubble. Selain itu Hubble pun berhasil memperoleh hasil penelitian yang cukup mengejutkan bahwa nebula Andromeda ternyata adalah sebuah galaksi. Sampai tahun 1925 mencapai 45 galaksi hasilnya praktis sama kecuali ada tambahan 1 buah galaksi lagi yang mendekati kita. Akhirnya tahun 1929, Hubble dan Humason mendapat kesimpulan bahwa dalam skala jagad raya, semua galaksi seolah menjauhi kita. Artinya alam semesta sedang dalam proses mengembang.
Dari sinilah akhirnya para astronom berusaha menelaah jagad raya secara makro dalam pengertian mulai menelaah struktur alam semesta dan awal mula terbentuknya jagad raya yang menggiringnya pada lahirnya bidang keilmuan kosmologi. Dalam hal ini dapat dipandang bahwa galaksi yang sedemikian banyaknya, bahkan ditaksir yang teramati sudah mencapai 100-an milyard galaksi, hanyalah sebagai elemen terkecil dari alam semesta.
Masalah jagad raya mengembang, ada kecenderungan bahwa makin jauh letak galaksi, makin cepat dia menjauhi kita. Hal ini diperoleh dengan mengamati pergeseran merah pada spektrumnya. Misal Galaksi Ursa Major berjarak 650 juta tc, menjauh dengan kecepatan 15.088 km/s, Galaksi Corona Borealis berjarak 940 juta tc menjauh dengan kecepatan 21.250 km/s, lebih jauh Galaksi Bootes berjarak 1,7 milyard tc dengan kecepatan 40.000 km/s. Hasil Hubble tentang pengembangan alam semesta menunjukkan bahwa ada hubungan linier antara jarak galaksi dengan kecepatan menjauhnya (Hubble’s Law, 1929) yang dapat dirumuskan sbb.:
v = H.d dimana v : kecepatan galaksi
H : konstanta (konstanta Hubble)
d : jarak galaksi
Saat ini harga konstanta Hubble semakin konvergen ke nilai sekitar 70 km/detik/Mpc. Adapun obyek langit yang dipergunakan sebagai lilin penentu jarak untuk galaksi jauh bukan lagi memakai bintang variabel Cepheid, melainkan supernova khususnya tipe I (SNI) karena sifat terang dan praktis seragam dimanapun ditemukan.

Kosmologi
Era kosmologi modern dapat dikatakan berlangsung sejak telaah secara makro ini bermula dari observasi terhadap obyek langit serta segala fenomenanya yang dijabarkan melalui perumusan matematis fisika. Khususnya setelah era lahirnya formulasi gravitasi Albert Einstein dan observasi yang dipelopori Edwin Hubble terhadap lautan galaksi. Dalam kosmologi dipelajari bentuk, struktur, komposisi, dan evolusi jagad raya yang menyangkut telaah awal mula lahirnya alam semesta, usia, dan perkiraan akhir riwayat alam semesta
Dalam kosmologi dikenal adanya asumsi yang disebut Prinsip Kosmologi. Berawal dari Prinsip Copernicus bahwa kita bukanlah pengamat yang istimewa, disusul perkembangannya dengan Prinsip Relativitas Khusus dan Prinsip Relativitas Umum yang juga menyangkut kecepatan rambat cahaya yang tetap yaitu c, lahirlah apa yang disebut Prinsip Kosmologi, yaitu:
1. Alam semesta dalam skala makro tampak seragam pada segala arah,
2. Bumi tempat tinggal kita tidaklah menempati posisi istimewa,
atau dengan jabaran lain bahwa alam semesta memenuhi 3 ciri utama, yaitu:
1. Ciri homogenitas ruang (spatial homogenity),
2. Ciri isotropi ruang (spatial isotropy),
3. Ciri keseragaman waktu (uniformity of time),
dimana ini berkaitan dengan hukum kekekalan momentum linier, hukum kekekalan momentum sudut, dan hukum kekekalan energi.
Beranjak dari sini, konsep mengembangnya alam semesta dapat dikatakan bahwa jagad raya tampak mengembang oleh siapapun sang pengamat dimanapun dia berada. Sementara dari Teori Relativitas Umum Einstein (Gravitasi) bahwa alam semesta tidaklah statis, akan bisa mengembang atau mengerut dengan segala dinamikanya dan semua bergantung pada proporsi massa-energi yang ada didalamnya. Pada saat sekarang dari gabungan keduanya secara pengamatan bahwa alam semesta mengembang dipercepat, pengembangannya berlaku pada semua titik ke segala arah dimana tidaklah ada apa yang disebut titik pusat pengembangannya. Ibarat permukaan balon yang diberi gambar beberapa titik, saat digelembungkan maka setiap titik yang ada akan menjauh satu sama lain.
Dari telaah termodinamika, bila saat ini mengembang maka seharusnya dulu – awal mula sekali – bahwa alam semesta tentu berukuran sangat kecil yang bersifat sangat padat dan sangat panas. Dari sinilah terlahir teori awal mula jagad raya yang disebut teori Dentuman Besar atau Big Bang.

Big Bang
Bila kita kilas balik ke awal usia jagad raya, atau kita hitung mundur ke arah usia sangat dini alam semesta, maka tidak terbayangkan semua materi berawal dari katakanlah sebuah titik saja dengan kerapatan luar biasa besar. Untuk menjelaskan keterjadian alam semesta, tentu hanya melalui proses ledakan super hebat yang pada akhirnya dapat menimbulkan gejala mengembangnya alam semesta seperti yang saat ini kita amati.
Betapa energi yang tersimpan didalamnya, dengan temperatur teramat sangat panas. Batas penelitian saat ini barulah mencoba menguak kondisi alam semesta saat berusia 10–43 detik (Waktu Planck); atau 10–43 detik setelah Big Bang. Pada era waktu Planck, segala macam interaksi juga gravitasi menyatu dalam adonan semesta. Semua proses fisis berlangsung cepat, dan sedetik kemudian barulah terbentuk materi seperti proton, neutron, elektron. Dalam hitungan menit disusul lahir inti atom paling sederhana yaitu inti atom hidrogen. Sementara itu elektron masih bergerak bebas (layaknya kondisi ionisasi saat temperatur sangat tinggi). Bahkan interaksi elektron dan foton menyebabkan foton yang membawa informasi masih belum sanggup lepas darinya (mirip Lubang Hitam dengan titik singularitasnya).
Saat temperatur alam semesta mencapai 10.000 K. Mulailah terbentuk atom hidrogen netral, elektron bebas berkurang. Pada saat usia alam semesta sekitar 300.000 tahun dan temperatur mencapai 3000 K, barulah foton mulai bisa bergerak bebas ke segala arah. Foton generasi awal inilah yang saat sekarang dianggap sebagai sumber dari Radiasi Gelombang Mikro Latar Belakang (Cosmic Microwave Background Radiation) yang dideteksi bertemperatur sekitar 2,74 K. Istilah “latar belakang” pengertiannya adalah yang menunjukkan usianya lebih tua dari bintang, galaksi, ataupun benda langit yang selama ini dikenal. Juga karena sifat seragamnya di segenap pelosok jagad raya.
Teori tentang radiasi ini telah dilakukan oleh Walter S. Adams tahun 1941, dan diteruskan McKellar dengan temperatur teorinya sekitar 2,3 K. Sementara George Gamow bersama Ralph A. Alpher dan Robert Herman menunjukkan hasil teorinya tahun 1946, dengan temperatur radiasi sebesar 5 K. Pembuktian adanya radiasi latar belakang ini akhirnya didapat oleh Arno Penzias dan Robert Wilson tahun 1965 dengan memakai gelombang 7-cm (microwave) di Bell Telephone Laboratory – New Jersey. Keduanya mendapat hadiah Nobel Fisika tahun 1978.
Dalam masalah teori kosmologi di atas tentu dibutuhkan syarat awal (initial condition) yang sedemikian akan memunculkan kondisi alam semesta yang kini kita huni. Salah satunya parameter kerapatan yang bila ditinjau ke kondisi dini alam semesta harganya mendekati harga 1. Dari teori kosmologi standard di atas harga ini mendekati harga tersebut, dengan ketelitian 1 dalam 1060. Artinya mendekati kondisi awal terbentuknya alam semesta. Namun, harus diingat bahwa teori ini tidak dapat atau belum sanggup menembus batas pemahaman hingga sampai ke pertanyaan asal usul alam semesta. Belum lagi pemahaman tentang paduan interaksi kuantum (teori kuantum) dengan gravitasi yang sampai sekarang belum dapat dijelaskan dimana justru hal ini sangat mendasar.
Penemuan benda langit yang disebut Quasar (quasi stellar object, quasi pengertiannya kondisi menyerupai) yang dianggap merupakan benda langit yang berada di tepian jagad raya tentu menambah data pengamatan guna telaah makro jagad raya. Anggapan ini karena quasar memiliki ciri pergeseran merah sangat besar sekaligus berarti mempunyai kecepatan menjauh yang besar. Ordenya mencapai lebih dari setengah kali kecepatan cahaya. Pemetaan dan penelitian galaksi telah banyak dilakukan dalam skala jagad raya. Semisal COBE (Cosmic Background Explorer), Sloan Digital Sky Survey, dan 2-degree Field Survey, termasuk dalam jajaran pemetaan modern yang dibutuhkan dalam penelusuran awal mula alam semesta.
Hal ini tentunya juga salah satunya dalam penentuan usia jagad raya yang dapat ditentukan dari rumusan Hubble. Bila diketahui v = Hd, maka diketahui pula bahwa d = vt. Sementara 1 Mpc sekitar 3 x 1019 km dan konstanta H = 70 km/s/Mpc. Dari sini dapat diperkitakan bahwa usia jagad raya (t = 1/H) adalah sekitar 4,3 x 1017 detik atau setara dengan 13,6 milyard tahun.
Sementara itu kita ketahui bahwa alam semesta berisi aneka benda atau tersusun antara lain dari energi, materi, juga foton. Saat ini secara teoritis diketahui bahwa kontribusi materi hanya sekitar 30% saja, dan ternyata yang dapat dideteksi hanya 10%. Selebihnya memunculkan apa yang dikenal sebagai energi gelap (dark energy). Keberadaannya mulai terkuak sejak adanya penelitian dengan nama Supernovae Cosmology Project, dan pengamatan radiasi latar belakang dengan Wilkinson Microwave Anisotrop Probe. Energy gelap inilah yang dianggap penyebab mengembangnya jagad semesta (Apa dapat dikatakan gravitasi-negatif, berlawanan dengan gravitasi yang umum dikenal dengan sifatnya yang tarik menarik?)
Teori Big Bang yang saat ini menjadi pegangan dalam kosmologi standard. Kendati demikian, walau hanya dari penelusuran sejarah sebenarnya sempat terlontar 2 teori tentang alam semesta yang di kemudian hari salah satunya sulit diyakini keabsahannya karena tidak didukung data pengamatan. Kedua teori tersebut adalah sbb.:
1. Teori Keadaan Tetap (Steady State)
Dipelopori oleh Bondi, Hoyle, dan Gold. Alam semesta selalu tetap dan serba sama dalam ruang dan waktu. Senantiasa ada penciptaan materi baru (paling sederhana adalah hidrogen) untuk mengisi kekosongan ruang akibat pemuaian. Sifat alam semesta abadi, jadi tidak berawal dan tidak akan berakhir. Sekarang teori ini sudah ditinggalkan.
2. Teori Osilasi
Dipelopori oleh Alan Guth dan Andrei Linde. Intinya bahwa bila alam semesta ini mengembang, maka suatu saat nanti justru karena keterbatasan materi dan energinya sendiri suatu saat akan berhenti mengembang. Setelah ini terjadi, maka berlangsunglah proses balik. Alam semesta akan menuju bentuk awalnya kembali yang disebut Big Crunch (lawan dari Big Bang). Teori ini masih menjadi pertimbangan, bahkan cenderung akan dipertahankan. Namun, apakah setelah Big Crunch akan terulang lagi peristiwa Big Bang dan begitu seterusnya. Berdasarkan penelitian matematis fisika ataupun kosmologi, saat sekarang belum ada yang memastikannya.

Penutup
Dari hasil di atas tampak bahwa alam semesta begitu dinamis. Penemuan demi penemuan terus terjadi. Inipun tentu alam semesta yang sekedar dapat diamati oleh manusia dengan segala peranti yang ada pada saat sekarang. Bahkan kumpulan data yang telah diperoleh, baru sedikit yang bisa diolah. Masih begitu banyak data yang menanti untuk diteliti. Berharap dengan semakin berkembangnya iptek, termasuk jaringan kerjasama yang terkait dengan astronomi dan berbagai bidang keilmuan lain, tentunya rasa optimis untuk semakin menambah wawasan mengenai jagad raya dengan segala isi dan fenomenanya serta ragam aspek yang menyertainya seharusnya perlu dikedepankan pada generasi masa yang akan datang. Namun, satu hal yang tidak bisa dikesampingkan bahwa seluas-luasnya jagad raya tentunya tidak mungkin lebih luas dari luasnya kekuasaan yang menciptakannya.

The fairest thing we can experience is the mysterious.
It is the fundamental emotion which stands at the cradle of true science.
He who knows it not, and can no longer wonder,
no longer feel amazement, is as good as dead.
(Albert Einstein)

Daftar Pustaka
Audouze, J. dan Guy Israel, (eds.), 1994, The Cambridge Atlas of Astronomy, 3rd edition, Cambridge Univ. Press, New York – Cambridge. p.333-381
Hawking, S. ,2001, The Universe in a Nutshell, Bantam Books, New York. p.67-99
Hidayat, T., 2000, Galaksi dan Asal Usul Jagad Raya : Teori Big Bang, Materi Penataran IPBA-SMU, Planetarium Jakarta
Maran, S.P., 1992, The Astronomy and Astrophysics Encyclopedia, Cambridge Univ. Press, New York – Cambridge. p.39-51, 147-165, 308-313
Sawitar, W., 2002, Tata Surya, Materi Penataran IPBA-SD, Planetarium Jakarta. p.1-39
Sawitar, W., 2003, Menjelajahi Jagad Raya, Proceedings Seminar Astronomi dan Pelatihan Astronomi Amatir dalam Rangka Pekan Antariksa Dunia 2006, Planetarium Jakarta, Jakarta. p.1-12
Sawitar, W., 2005, Constellations: In the Time Scale of the Cultures, Proceedings of the “9th Asian-Pacific Regional Meeting (APRIM-2005)”, ITB, Bandung, p.328-329
Sawitar, W., 2005, Amateur Astronomy Workshop and Training for High School and Star Party in conjunction with The 9th Asian-Pacific International Astronomical Union Regional Meeting (APRIM 2005), July 2005, Bali, Indonesia
Sawitar, W., 2006, naskah buku pelajaran mengenai Matahari dan Jagad Raya untuk tingkat SMA (belum dipublikasikan)
Sutantyo, W., 1984, Astrofisika : Mengenal Bintang, Penerbit ITB, Bandung

- - - - - WIKU - - - - -
Jakarta, 20 Oktober 2007






Lylie_Gorgeous

Tidak ada komentar :

Posting Komentar